Hukum mengambil upah atas ruqyah dan memfokuskan diri untuk mengobati manusia



📚 *Silsilatu Al-‘Ilaj Al-Mubah fi Syifa’i Al-Ajsad wa Al-Arwah seri 6*

*(Hukum Mengambil Upah atas Ruqyah dan Memfokuskan Diri untuk Mengobati Manusia)*

Materi 22

**Menyewa Jasa untuk Mengajarkan Al-Qur’an** Lanjutan

**Seri Pengobatan yang Diperbolehkan untuk Menyembuhkan Jasmani dan Rohani 6**  

**Hukum Mengambil Upah atas Pengajaran Al-Qur’an**  

Allah Ta’ala telah mewajibkan penyampaian ajaran-Nya, dan siapa saja yang telah melaksanakannya, maka itu telah mencukupi bagi yang lain—sebagaimana shalat jenazah yang hukumnya fardhu kifayah. Jika sebagian telah melaksanakannya, gugurlah kewajiban bagi yang lain.  

Seandainya seseorang menyewa orang lain untuk menshalati jenazah keluarganya, hal itu tidak diperbolehkan, karena ia menyewa seseorang untuk menunaikan kewajiban yang seharusnya ia lakukan sendiri. Demikian pula dalam mengajarkan Al-Qur’an—ia adalah kewajiban bersama umat Islam. Jika sebagian telah melakukannya, kewajiban itu gugur bagi yang lain.  

Oleh karena itu, jika seseorang menyewa orang lain untuk mengajarkan Al-Qur’an, akad tersebut batil, karena ia menyewa seseorang untuk menunaikan kewajiban yang seharusnya ia lakukan sebagai ibadah kepada Allah. Kewajiban itu gugur jika ia melakukannya sendiri, bukan dengan membayar orang lain.  

**Dalil Larangan Mengambil Upah atas Pengajaran Al-Qur’an**  

1. **Sabda Nabi ﷺ:**  
   *"Janganlah kalian mencari makan dengan Al-Qur’an."*  

2. **Riwayat ‘Ubadah bin Ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu:**  
   *"Aku pernah mengajarkan Al-Qur’an kepada beberapa orang Ahlush Shuffah. Salah seorang dari mereka memberiku hadiah sebuah busur seraya berkata, ‘Ambillah ini sebagai sedekah di jalan Allah.’ Aku pun menanyakan hal itu kepada Rasulullah ﷺ, dan beliau bersabda:*  
   *‘Jika engkau menerimanya, engkau akan mengenakan kalung dari api neraka.’*  
   *Maka aku pun mengembalikannya."*  

3. **Riwayat tentang Muadzin yang Dilarang Mengambil Upah:**  
   *"Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Kami memiliki muadzin yang tidak mengambil upah atas adzannya.’"*  
   Ini menunjukkan bahwa mengambil upah atas adzan—yang juga termasuk kewajiban—tidak diperbolehkan.  

4. **Perkataan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma:**  
   Seorang lelaki berkata kepadanya, *"Aku mencintaimu karena Allah."*  
   Ibnu Umar menjawab, *"Tetapi aku membencimu karena Allah, karena engkau mencari upah dari adzanmu dan mengambil bayaran atasnya."*  

**Perbedaan antara Mengambil Upah atas Kewajiban dan yang Bukan Kewajiban**  

- **Mengambil upah atas kewajiban (seperti mengajarkan Al-Qur’an atau adzan) tidak diperbolehkan**, karena hal itu termasuk menunaikan kewajiban yang seharusnya dilakukan tanpa imbalan.  
- **Mengambil upah atas sesuatu yang bukan kewajiban (seperti meruqyah atau pengobatan) diperbolehkan**, meskipun di dalamnya terdapat bacaan Al-Qur’an, karena ruqyah bukanlah kewajiban setiap muslim.  

**Kesimpulan Pendapat Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan Muhammad (rahimahumullah):**  
- Mengambil upah atas pengajaran Al-Qur’an tidak diperbolehkan karena termasuk kewajiban.  
- Namun, mengambil upah atas ruqyah atau pengobatan diperbolehkan, meskipun menggunakan ayat Al-Qur’an, karena ruqyah bukanlah kewajiban umum.  

Dengan demikian, larangan dan kebolehan dalam masalah ini dapat dipahami secara harmonis tanpa pertentangan.  

Wallahu a’lam.  

*(Sumber: Thahawi Al-Hanafi, Syarh Ma’ani Al-Atsar, Jilid 4)*
--------------

✍️Syaikh Khalid bin Ibrahim Al Hibsyi Hafidzahullah
⌨️ Rudi Abu Huna
Republish: Ruqyah QHI Klaten 

📚 *Silsilatu Al-‘Ilaj Al-Mubah fi Syifa’i Al-Ajsad wa Al-Arwah seri 6*

*(Hukum Mengambil Upah atas Ruqyah dan Memfokuskan Diri untuk Mengobati Manusia)*

Materi 23:

**Hukum Menerima Upah atas Ruqyah**  

Adapun mengenai mengambil upah atas ruqyah, Imam Ahmad memilih pendapat yang membolehkannya dan berkata: *"Tidak mengapa."*  

Beliau menyebutkan hadits Abu Sa'id (tentang kisah ruqyah dengan bacaan Al-Fatihah yang diberi upah oleh suatu kaum, lalu Nabi ﷺ membenarkannya). Perbedaan antara ruqyah dan perkara yang diperselisihkan (seperti upah mengajarkan Al-Qur'an) adalah bahwa ruqyah termasuk jenis pengobatan, sedangkan upah yang diambil atasnya adalah *ju'l* (imbalan yang disepakati). Pengobatan diperbolehkan mengambil upah, dan *ju'alah* (akad upah tertentu) lebih longgar daripada *ijarah* (akad sewa/upah biasa). Oleh karena itu, *ju'alah* diperbolehkan meskipun pekerjaan dan waktunya tidak diketahui secara pasti.  

Sabda Nabi ﷺ:  

**"أَحَقُّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللهِ"**  
(*"Yang paling berhak kalian ambil upahnya adalah Kitabullah."*)  

Maksudnya adalah *ju'l* (imbalan) dalam ruqyah, karena beliau menyebutkannya dalam konteks kisah ruqyah. Adapun menjadikan upah mengajar sebagai mahar, maka terdapat perbedaan pendapat tentangnya, dan tidak ada penegasan langsung dalam hadits tersebut.  

---  

**Kebolehan Ju'alah atas Ruqyah**  

*(Cabang masalah)* Ju'alah (akad upah tertentu) atas ruqyah diperbolehkan sebagaimana telah disebutkan, begitu juga dalam merawat dan mengobati orang sakit, bahkan hewan sekalipun. Jika orang yang sakit menetapkan batas tertentu (seperti kesembuhan) dan syarat itu terpenuhi, maka peruqyah berhak mendapatkan upah yang disepakati. Jika tidak ditentukan, maka upahnya disesuaikan dengan upah yang berlaku (*ujratul mitsl*).  

*(Perkataan penulis: "Jika ia menetapkan batas tertentu seperti kesembuhan dan syarat itu terpenuhi, maka ia berhak mendapatkan upah yang disepakati")*  

Hal ini dapat digambarkan dengan contoh: Jika seseorang berkata, *"Obatilah aku, jika aku sembuh maka untukmu upah sekian."* Namun, bisa dipertanyakan: Kesembuhan bukanlah tindakan yang dilakukan oleh peruqyah dan bukan pula sesuatu yang ia kuasai, sehingga *ju'alah* atas kesembuhan dianggap tidak sah. Solusinya adalah bahwa ini termasuk *ju'alah fasidah* (akad upah yang cacat) yang hanya mewajibkan *ujratul mitsl* (upah standar).  

Namun, bisa juga dikatakan bahwa gambaran akad tidak harus seperti itu dengan mengakui cacatnya. Sebaliknya, bisa digambarkan dengan: *"Jika engkau merawatku sampai sembuh, maka untukmu upah sekian."* Dalam hal ini, *ju'alah* dianggap sah karena akad sebenarnya bukan atas kesembuhan, melainkan atas tindakan pengobatan. Kesembuhan hanya dijadikan sebagai batasan akhir pengobatan, sehingga tidak masalah.  

Bahkan jika dikatakan bahwa akad itu atas kesembuhan, maka itu adalah perkara *dhimni* (tersirat) yang toleransinya lebih longgar dibanding perkara *qashdi* (disengaja). Selain itu, masalah ini juga dinukil dalam *Al-Jawahir* (sebuah kitab fikih) bahwa *ju'alah* atas kesembuhan tetap sah meskipun kesembuhan bukan sesuatu yang bisa diupayakan langsung, karena sebab-sebabnya bisa diusahakan. Dalam *Al-Jawahir* juga dibedakan antara *ju'alah* atas kesembuhan dan *ijarah* (sewa jasa biasa).  

---  

**Referensi:**  
1. Ibnu Qudamah Al-Hanbali, *Al-Mughni*, Bab Al-Ijarah.  
2. Ahmad bin Hajar Al-Haitami, *Tuhfatul Muhtaj*, Kitab Al-Ju'alah, Jilid 1.  

--------------

✍️Syaikh Khalid bin Ibrahim Al Hibsyi Hafidzahullah

📚 *Silsilatu Al-‘Ilaj Al-Mubah fi Syifa’i Al-Ajsad wa Al-Arwah seri 6*

*(Hukum Mengambil Upah atas Ruqyah dan Memfokuskan Diri untuk Mengobati Manusia)*

Materi 24:

**Hukum Mengambil Upah atas Pengajaran Al-Qur'an: Analisis Hadis yang Bertentangan**


عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ قَالَ: (إِنَّ أَحَقُّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللهِ)
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: "Sesungguhnya yang paling berhak kalian ambil upahnya adalah Kitabullah (Al-Qur'an)." (HR. Bukhari).

Hadits ini bertentangan dengan riwayat Abu Dawud dari hadits Ubadah bin ash-Shamit, dengan lafazh: "Aku telah mengajarkan beberapa orang dari Ahli Shuffah tentang Al-Kitab (tulisan) dan Al-Qur'an, lalu seseorang di antara mereka memberikan hadiah kepadaku berupa busur. Aku berkata, 'Ini bukan hartaku sehingga aku bisa menggunakannya untuk memanah di jalan Allah.' Maka aku mendatangi Nabi ﷺ dan berkata, 'Wahai Rasulullah, seseorang telah memberikan hadiah kepadaku berupa busur, dia adalah salah seorang yang aku ajarkan Al-Kitab dan Al-Qur'an, dan ini bukan hartaku sehingga aku bisa menggunakannya untuk memanah di jalan Allah.' Beliau bersabda, 'Jika engkau suka dikalungkan dengan kalung dari api, maka terimalah ia.'"

Para ulama berbeda pendapat dalam mengamalkan kedua hadits ini. Jumhur ulama, Malik, dan Syafi'i berpendapat bolehnya mengambil upah atas pengajaran Al-Qur'an, baik yang belajar itu anak kecil maupun orang dewasa, dan meskipun pengajaran itu menjadi kewajiban bagi pengajar, berdasarkan hadits Ibnu Abbas. Pendapat ini juga diperkuat oleh riwayat dalam bab nikah tentang menjadikan pengajaran Al-Qur'an seorang suami kepada istrinya sebagai mahar. Mereka berkata, hadits Ubadah tidak bertentangan dengan hadits Ibnu Abbas, karena hadits Ibnu Abbas adalah shahih, sedangkan hadits Ubadah dalam riwayat Mughirah bin Ziyad diperselisihkan. Ahmad mengingkari haditsnya, dan di dalamnya terdapat perawi bernama Al-Aswad bin Tsa'labah yang diperbincangkan, sehingga tidak bisa bertentangan dengan hadits yang tsabit (kuat).

Mereka juga berkata, seandainya hadits Ubadah shahih, maka maknanya adalah bahwa Ubadah melakukan kebaikan dan pengajaran secara sukarela dan tidak berniat mengambil upah, maka Nabi ﷺ memperingatkannya dari membatalkan pahalanya dan mengancamnya. Selain itu, mengambil upah dari Ahli Shuffah secara khusus adalah makruh dan hina karena mereka adalah orang-orang fakir yang hidup dari sedekah orang lain, maka mengambil harta dari mereka adalah dibenci.

Sedangkan Al-Hadawiyah, Hanafiyah, dan lainnya berpendapat haramnya mengambil upah atas pengajaran Al-Qur'an, berdalil dengan hadits Ubadah yang telah kamu ketahui penjelasannya di atas.
Ya, Imam Bukhari melanjutkan dengan menyebutkan pengambilan upah atas ruqyah (jampi) dalam bab ini. Beliau meriwayatkan dari (hadits Abu Sa'id tentang ruqyah beberapa sahabat kepada seorang Arab, dan bahwa mereka tidak meruqyahnya hingga mereka mensyaratkan sejumlah kambing. Lalu sahabat itu meludahinya dan membacakan Alhamdulillahi Rabbil 'Alamin [Al-Fatihah: 2]). Maka seolah-olah orang itu terlepas dari ikatan, lalu berjalan dan tidak ada penyakit padanya. Kemudian orang itu memenuhi syarat yang telah disepakati. Ketika para sahabat menceritakan hal itu kepada Rasulullah ﷺ, beliau bersabda: "Kalian telah benar, bagilah (kambing itu) dan berikan bagian untukku bersama kalian."

Penyebutan kisah ini oleh Imam Bukhari dalam bab ini, meskipun bukan tentang upah pengajaran, namun di dalamnya terdapat dalil tentang bolehnya mengambil imbalan atas bacaan Al-Qur'an untuk memperkuat bolehnya mengambil upah atas bacaan Al-Qur'an, baik untuk pengajaran maupun lainnya, karena tidak ada perbedaan antara membacanya untuk pengajaran dan membacanya untuk pengobatan. (1)


(1) Ash-Shan'ani, Subul as-Salam, Bab Al-Ujrah, juz 2.

--------------

✍️Syaikh Khalid bin Ibrahim Al Hibsyi Hafidzahullah
_________
**Kesimpulan:**  
- Jika upah untuk **ruqyah** dibolehkan, apalagi untuk **pengajaran**.  


 **Kesimpulan Hukum**  
✅ **Pendapat Terkuat (Mayoritas Ulama):**  
- **Boleh mengambil upah** mengajar Al-Qur'an, baik untuk anak kecil maupun dewasa.  
- **Syarat:**  
  - Niat **ikhlas** (tidak menjadikan Al-Qur'an sebagai komoditas dagang).  
  - **Hindari mengambil dari orang miskin** jika mereka kesulitan.  

❌ **Pendapat Minoritas (Hanafiyah):**  
- **Haram** mengambil upah, kecuali dalam keadaan darurat.  

**"Barangsiapa membaca satu huruf dari Al-Qur'an, baginya satu kebaikan, dan setiap kebaikan dilipatgandakan sepuluh kali."** (HR. Tirmidzi)

*RUQYAH QHI KLATEN*
*Pimpinan: Ustadz Dedi Saputra, CAHTM* 

Alamat: Dk/Ds Manjungan RT 07 RW 03 Kec Ngawen, Kab Klaten, Jawa Tengah


Notes: Banyak tulisan mengenai hukum mengambil upah dalam pengajaran Al Qur'an dan ruqyah yang dijelaskan oleh beberapa Ulama yang lebih lengkapnya dalam Buku Ensiklopedi ruqyah. Terkait perbedaannya sekali lagi mari kita sikapi secara harmonis tanpa pertentangan. 




Komentar

Postingan populer dari blog ini

TERAPI PROMIL (Program Kehamilan) Rumah Sehat Holistik Asy Syifa Klaten

RAHASIA 'AIN DAN HASAD

Teks Deteksi gangguan jin