Hukum Mengambil Upah Dari Pengajaran Agama Dan Pembacaan Ruqyah
Judul Asli: “Hukmul Ju’l Wal Ujroh‘Ala Ta’limiddin War Ruqyah”
Judul Terjemahan Bebas: “Hukum Mengambil Upah Dari Pengajaran Qur’an dan Pembacaan Ruqyah”
Ditulis dan Diterjemahkan Oleh Al Faqir Ilalloh:
Abu Fairuz Abdurrahman bin Soekojo Al Indonesiy Al Jawiy وفقه الله
بسم الله الرحمن الرحيم
Pengantar Penulis عفا الله عنه
الحمد لله رب العالمين وأشهد أن لا إله إلا الله وأشهد أن محمدا عبده ورسوله، اللهم صل وسلم على محمد وعلى آله أجمعين أما بعد:
Telah datang kepada saya dua risalah di dalamnya ada permintaan untuk menjelaskan hukum mengambil upah karena meruqyah dan juga hukum mengambil upah dari mengajarkan Al Qur’an.
Dan dalam risalah yang lain saudara kita menyebutkan bahwasanya Syaikh kita Al ‘Allamah Abu Abdirrohman Yahya bin Ali Al Hajuriy حفظه الله memfatwakan bolehnya hal itu jika berhajat. Demikian pula Syaikh kita Al ‘Allamah Abu AbdillahMuhammad bin Hizam Al Ba’daniyحفظه الله memfatwakan semisal itu, di dalam kitab beliau yang agung: “Fathul ‘Allam Fi Dirosati Ahadits Bulughil Marom.”
Pada hari-hari ini belum dimudahkan bagi saya untuk merujuk kepada fatwa-fatwa kedua Syaikh kita tersebut, akan tetapi fatwa-fatwa beliau berdua insya Alloh cukup, dan dalil-dalil beliau berdua itu kuat.
Datang risalah yang lain lagi meminta saya untuk menyusun pembahasan tersendiri dalam masalah ini.
Maka dengan taufiq dari Alloh, saya memenuhi permintaan para ikhwah dengan menyebutkan dalil-dalil yang shohih dan hasan dalam masalah ini, beserta penjelasan para ulama terdahulu dan yang belakangan, disertai dengan peringatan-peringatan penting bagi orang yang ingin menempuh jalan yang lurus dan kokoh di atas manhaj Salaf yang benar.
Maka dengan memohon pertolongan pada Alloh ‘azza wajalla dan dalam rangka saling menolong dalam kebaikan dan taqwa, saya katakan:
Bab Dua: Hukum Mengambil Upah Dari Ruqyah
Dalil yang pertama: hadits dari Abu Sa’id Al Khudriy رضي الله عنه yang berkata:
أن ناساً من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم أتوا على حي من أحياء العرب فلم يقروهم فبينما هم كذلك إذ لدغ سيد أولئك. فقالوا: هل معكم من دواء أو راق؟ فقالوا: إنكم لم تقرونا ولا نفعل حتى تجعلوا لنا جعلا فجعلوا لهم قطيعا من الشاء. فجعل يقرأ بأم القرآن ويجمع بزاقه ويتفل فبرأ فأتوا بالشاء. فقالوا: لا نأخذه حتى نسأل النبي صلى الله عليه وسلم، فسألوه فضحك وقال: «وما أدراك أنها رقية خذوها واضربوا لي بسهم».
“Bahwasanya sekelompok orang dari Shohabat Nabi صلى الله عليه وسلم mendatangi suatu desa dari desa-desa Arob, tapi penduduknya tidak mau menjamu mereka. Ketika mereka demikian, tiba-tiba saja pemimpin desa tadi disengat binatang. Maka mereka berkata: “Apakah kalian punya obat atau orang yang ahli ruqyah (jampi-jampi)?” Maka mereka menjawab: “Kalian tidak mau menjamu kami. Dan kami tidak akan mengobati sampai kalian memberikan untuk kami upah.” Maka mereka memberikan upah untuk mereka tiga puluh ekor kambing. Maka mulailah dia (Abu Sa’id) membaca Ummul Qur’an dan mengumpulkan ludahnya lalu meludahkannya sedikit (ke kepala kampung). Maka sembuhlah dia. Lalu mereka mendatangkan kambing-kambing itu. Para Shohabat tadi berkata: “Kita tidak mengambilnya sampai kita bertanya kepada Rosululloh صلى الله عليه وسلم .” maka merekapun bertanya kepada beliau. Maka beliau tertawa seraya bersabda: “Dari mana engkau tahu bahwasanya Ummul Kitab adalah ruqyah? Ambillah kambing-kambing tadi, dan berilah aku bagian darinya.” (HR. Al Bukhoriy (5736) dan Muslim (2201)).
Al Qurthubiy رحمه الله berkata: “Sabda Nabi صلى الله عليه وسلم : “Ambillah kambing-kambing tadi dari penduduk tadi, dan berilah aku bagian darinya.” Ini merupakan penjelasan hukum dengan perkataan, dan pemberian idzin yang kuat dengan pengamalan, karena beliau tidak punya keperluan untuk diberi bagian dari kambing tadi, hanya saja beliau ingin menguatkan penjelasan bahwasanya perbuatan mereka tadi adalah halal yang murni, yang tiada keraguan di dalamnya. Maka ucapan beliau tadi merupakan dalil yang paling besar bagi orang yang berpendapat bolehnya mengambil upah dari ruqyah dan pengobatan. Dan itu adalah pendapat Malik, Asy Syafi’iy, Abu Hanifah dan pengikutnya, Ahmad Ishaq, Abu Tsaur, dan sekelompok Salaf (ulama terdahulu) dan Kholaf (ulama belakangan).” (“Al Mufhim”/1/hal. 18/hal. 69).
Al Imam An Nawawiy رحمه الله berkata: “Ini merupakan ucapan jelas sekali tentang bolehnya mengambil upah dari ruqyah dengan Al Fatihah dan dzikir, dan bahwasanya itu adalah halal tanpa kemakruhan di dalamnya. Demikian pula upah dari mengajarkan Al Qur’an. Dan ini adalah madzhab Asy Syafi’iy, Malik, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur dan yang lainnya dari kalangan Salaf dan ulama yang setelah mereka. Abu Hanifah melarang itu dalam pengajaran Al Qur’an, dan membolehkannya dalam ruqyah. Adapun sabda Nabi صلى الله عليه وسلم : “Dan berilah aku bagian bersama kalian.” Dan dalam riwayat lain: “Bagi-bagilah, danberilah aku bagian bersama kalian” maka pembagian ini masuk dalam bab menjaga kehormatan (kehormatan sang peruqyah) dan sumbangan serta memperluas pemberian pada para teman dan rekan. Soalnya jika tidak demikian, maka seluruh kambing tadi adalah milik sang peruqyah secara khusus untuknya. Yang lain tidak punya hak dalam kambing-kambing tadi jika terjadi perebutan. Maka Abu Sa’id membagi-bagikannya di antara mereka adalah dalam rangka memberikan sumbangan, kedermawanan dan menjaga kehormatan. Adapun sabda Nabi صلى الله عليه وسلم : “Dan berilah aku bagian bersama kalian,” maka beliau bersabda demikian adalah dalam rangka menyenangkan hati mereka dan memperkuat pengetahuan mereka bahwasanya itu tadi adalah halal, tiada kekaburan di dalamnya. Dan Rosululloh صلى الله عليه وسلم telah berkata demikian pula dalam hadits Anbar (sejenis ikan paus), dan dalam hadits Abu Qotadah tentang kisah keledai liar.” (“Syarh Shohih Muslim”/14/hal. 188).
Al Imam Ibnu Qudamah رحمه الله berkata: “Adapun mengambil upah dari ruqyah, maka sungguh Ahmad memilih bolehnya hal itu, dan beliau berkata: “Tidak apa-apa.” Dan beliau menyebutkan hadits Abu Sa’id. Dan perbedaan antara upah ruqyah dan perkara yang diperselisihkan (upah ta’lim dsb) adalah: bahwasanya ruqyah itu sejenis pengobatan. Harta yang diambil karena ruqyah tadi merupakan “ju’l” (imbalan). Dan memang diperbolehkan mengambil upah dari pengobatan.” (“Al Mughni”/6/hal. 143).
Jika ada yang berkata: “Tiga puluh ekor kambing tadi bukanlah upah ruqyah, tapi pemuliaan untuk tamu.”
Maka jawab kita dengan taufiq Alloh semata: pensyaratan para Shohabat kepada penduduk kampong tadi adalah: “Kalian tidak mau menjamu kami. Dan kami tidak akan mengobati sampai kalian memberikan untuk kami upah.” Mungkin sebagai upah ruqyah, dan mungkin pula sebagai hak tamu. Akan tetapi kemungkinannya sebagai upah ruqyah itu lebih jelas dan lebih kuat karena mereka menamakan tiga puluh ekor kambing tadi sebagai “ju’l” (upah). Andaikata itu sebagai pemuliaan tamu, niscaya mereka menamakannya dengan “nuzul” (hidangan orang yang datang), atau “dhiyafah” (pemuliaan tamu), dan semisalnya.
Jawaban kedua: sesungguhnya tiga puluh ekor kambing itu terlalu besar untuk menjadi nuzul atau dhiyafah, terutama bahwasanya penduduk kampong tadi telah menampakkan kepelitan mereka terhadap para Shohabat Rosululloh صلى الله عليه وسلم . maka posisinya sebagai upah ruqyah itu lebih jelas, dan jumlah kambing yang banyak tadi adalah sebagai benuk kegembiraan mereka karena sembuhnya pemimpin mereka yang tersengat binatang, bukan karena mereka memuliakan para Shohabat Rosululloh صلى الله عليه وسلم dan mengetahui keagungan posisi mereka dalam agama ini.
Jawaban ketiga: sesungguhnya dalil-dalil yang menunjukkan pada kebiasaan Arob saat memuliakan tamu adalah: mereka itu memasak daging, menghidangkan makanan yang sudah siap, dan semisalnya, bukannya memberikan kambing hidup-hidup sehingga tetap saja para tamu mengalami kerepotan.
Maka tiga puluh ekor kambing tadi lebih jelas menjadi upah ruqyah daripada menjadi pemuliaan tamu. Alloh ta’ala a’lam.
Dalil yang lain tentang upah ruqyah: Dari Ibnu Abbas رضي الله عنهما yang berkata:
أن نفراً من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم مروا بماء فيهم لديغ أو سليم فعرض لهم رجل من أهل الماء فقال: هل فيكم من راق؟ إن في الماء رجلاً لديغاً أو سليماً. فانطلق رجل منهم فقرأ بفاتحة الكتاب على شاء فبرأ، فجاء بالشاء إلى أصحابه، فكرهوا ذلك وقالوا: أخذت على كتاب الله أجراً؟ حتى قدموا المدينة فقالوا: يا رسول الله أخذ على كتاب الله أجراً. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «إن أحقّ ما أخذتم عليه أجرا كتاب الله».
“Bahwasanya sekelompok dari Shohabat Nabi صلى الله عليه وسلم melewati suatu desa yang di kalangan mereka ada orang yang tersengat. Maka salah seorang penduduk desa tadi menghadang mereka seraya berkata: “Apakah di kalangan kalian ada orang yang bisa meruqyah? Sesungguhnya di desa ini ada orang yang tersengat.” Maka salah seorang dari mereka berangkat, lalu membacakan Al Fatihah dengan minta imbalan kambing-kambing. Lalu sembuhlah si sakit. Lalu datanglah orang tadi dengan membawa kambing-kambing kepada para sahabatnya. Tapi mereka tidak suka hal itu dan berkata: “Apakah engkau mengambil upah karena Kitabulloh?” sampai mereka tiba di Madinah. Lalu mereka berkata: “Wahai Rosululloh, orang ini mengambil upah karena Kitabulloh.” Maka Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda: “Sesungguhnya yang paling berhak untuk kalian ambil upah darinya adalah Kitabulloh.” (HR. Al Bukhoriy (5737)).
Apa maknanya? Yaitu: sungguh obat-obatan itu banyak, akan tetapi berobat dengan Al Qur’an itulah yang utama, karena Alloh ta’ala berfirman:
﴿يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ﴾ [يونس: 57].
“Wahai orang-orang yang beriman, sungguh telah datang pada kalian petuah dari Robb kalian, dan obat bagi penyakit yang ada di dalam dada, dan petunjuk serta rohmat bagi kaum Mukminin.”
Bahkan sebagaimana Al Qur’an adalah obat bagi penyakit-penyakit hati, dia juga obat bagi penyakit-penyakit badan, karena keumuman firman Alloh عز وجل:
﴿قُلْ هُوَ لِلَّذِينَ آمَنُوا هُدًى وَشِفَاءٌ﴾ [فصلت: 44].
“Katakanlah: Al Qur’an itu bagi orang-orang yang beriman adalah petunjuk dan obat.”
Terutama adalah induk Al Qur’an, yaitu Al Fatihah.
Al Imam Ibnul Qoyyim رحمه الله berkata: “Sungguh obat ini berpengaruh terhadap penyakit itu dan menghilangkannya sampai seakan-akan penyakit tadi tidak pernah ada, dan dia itu adalah obat yang paling mudah dan paling gampang. Andaikata sang hamba pintar berobat dengan Al Fatihah niscaya dia akan melihat Al Fatihah tadi punya pengaruh ajaib dalam pengobatan. Aku pernah tinggal di Mekkah sekian lama dan aku tertimpa berbagai penyakit, dan aku tidak mendapatkan dokter ataupun obat. Maka aku terus-terusan mengobati diriku dengan Al Fatihah, maka aku melihat dia punya pengaruh ajaib. Dan aku sering menceritakan hal itu pada orang yang mengeluhkan rasa sakit, dan kebanyakan mereka kemudian sembuh dengan cepat.
Akan tetapi ada perkara yang harus dicermati, yaitu: bahwasanya dzikir-dzikir, ayat-ayat dan doa-doa yang dipakai untuk berobat dan meruqyah itu memang bermanfaat dan bisa mengobati. Akan tetapi dia menuntut objeknya harus menerima obat tadi, dan kuatnya tekad pengobatnya serta kuatnya pengaruhnya. Kapan saja tidak terjadi kesembuhan, maka hal itu karena lemahnya pengaruh sang pengobat, atau karena objeknya tidak menerima obat tadi, atau karena faktor penghalang yang kuat, yang menghalangi manjurnya obat, sebagaimana hal itu juga terjadi pada obat-obat dan penyakit-penyakit jasmaniyyah. Ketidakadaan pengaruh obat tadi bisa jadi karena tabiat si penderita tidak menerima obat tadi, dan bisa jadi karena kuatnya penghalang yang menghalangi tuntutan pengaruh obat.Tabiat si penderita jika mengambil obat tadi dengan penerimaan yang sempurna, badan bisa mengambil manfaat dari obat tadi sesuai dengan kadar penerimaan tabiatnya tadi. Demikian pula hati jika mengambil ruqyah-ruqyah dan perlindungan-perlindungan dengan penerimaan yang sempurna, dan si peruqyah punya jiwa yang aktif dan tekad yang berpengaruh untuk menghilangkan penyakit tadi.”
(“Al Jawabul Kafiy”/hal. 3).
Maka sebagaimana boleh mengambil upah dari obt-obatan yang ada, maka lebih pantas lagi akan bolehnya mengambil upah dari pengobatan dengan Al Qur’an, karena kesembuhan dengan Al Qur’an itu lebih bisa diharapkan daripada kesembuhan dengan hasil ijtihad para makhluk.
Bukan berarti mengambil upah duniawi itu lebih utama daripada meminta pahala akhirat dari Alloh, jelas pahala akhirat itu lebih baik dari pada upah dunia, akan tetapi dari sisi bolehnya, maka boleh mengambil upah dari ruqyah dengan Al Qur’an.
Kemudian sesungguhnya situasi dialog di dalam hadits itu adalah situasi yang membutuhkan penjelasan, karena para Shohabat رضي الله عنهم mendatangi beliau صلى الله عليه وسلم untuk beliau menjelaskan pada mereka hukum mengambil upah dari ruqyah dengan Kitabulloh. Dan sebagaimana telah tetap dalam ushul: wajibnya memberikan penjelasan pada saat yang dibutuhkan.
Syaikhul Islam رحمه الله berkata: “Mengakhirkan penjelasan dari waktu yang dibutuhkan itu tidak boleh.” (“Majmu’ul Fatawa”/20/hal. 369).
Manakala mereka berkata: “Wahai Rosululloh, orang ini mengambil upah karena Kitabulloh.” Lalu Rosululloh صلى الله عليه وسلم menjawab dengan sabda beliau: “Sesungguhnya yang paling berhak untuk kalian ambil upah darinya adalah Kitabulloh.” Ini menunjukkan bolehnya amalan tadi tanpa keraguan.
Al Imam Ibnu Baz رحمه الله berkata tentang hadits ini: “Maka ini menunjukkan bahwasanya tidak mengapa mengambil upah pengajaran sebagaimana boleh mengambil upah karena ruqyah.” (“Majmu’ Fatawa Wa Maqolat Ibnu Baz”/5/hal. 347).
Al Imam Ibnu ‘Utsaimin رحمه الله ditanya: “Dengan sebab sekarang tersebar kasus masuknya jin ke tubuh manusia, dan sebagian orang duduk-duduk dan berkonsentrasi untuk meruqyah dan mengambil upah dari itu, maka apa pendapat Anda tentang masalah ini? Mereka berdalilkan dengan hadits rombongan Shohabat yang meruqyah orang dengan Al Fatihah.”
Maka beliau رحمه الله menjawab: “Adapun dari sisi mengambil upah dari ruqyah kepada orang sakit, maka itu tidak mengapa. Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
إن أحقّ ما أخذتم عليه أجرا كتاب الله».
“Sesungguhnya yang paling berhak untuk kalian ambil upah darinya adalah Kitabulloh.” (HR. Al Bukhoriy (5737)).
Dan si pembaca ini seperti juru obat (berusaha memberikan manfaat dengan pengobatan). Beda dengan orang yang mengambil upah dengan semata-mata bacaannya, seperti orang yang membaca Al Qur’an untuk beribadah dengan bacaannya, dan dia mengambil upah karena membaca Al Qur’an, maka ini harom. Akan tetapi orang yang membacakan Al Qur’an pada orang lain untuk diambil manfaatnya, atau mengajarkan Al Qur’an pada orang lain, maka tidak mengapa dia mengambil upah.” Dan seterusnya.
(“Liqoatul Babil Maftuh”/8/hal. 34).
Fadhilatusy Syaikh Sholih Al Fauzan حفظه الله berkata: “Dan tidak mengapa si peruqyah mengambil upah atau hadiah karena amalannya tadi, karena Rosululloh صلى الله عليه وسلم menyetujui Shohabat yang mengambil upah dari ruqyah terhadap orang yang disengat itu dan beliau bersabda:
إن أحقّ ما أخذتم عليه أجرا كتاب الله».
“Sesungguhnya yang paling berhak untuk kalian ambil upah darinya adalah Kitabulloh.” (HR. Al Bukhoriy (5737)).
(“Al Muntaqo Min Fatawal Fauzan”/1/hal. 40).
Dalil yang ketiga: dari Khorijah ibnush Sholt, dari pamannya –yaitu: ‘Alaqoh bin Shuhar رضي الله عنه-:
أنه مر بقوم فأتوه فقالوا: إنك جئت من عند هذا الرجل بخير، فارق لنا هذا الرجل، فأتوه برجل معتوه في القيود، فرقاه بأم القرآن ثلاثة أيام غدوة وعشية، وكلما ختمها جمع بزاقه ثم تفل، فكأنما أنشط من عقال ( أي حل من وثاق ). فأعطوه شيئا فأتى النبي صلى الله عليه و سلم، فذكره له، فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم: «كل، فلعمري لمن أكل برقية باطل لقد أكلت برقية حق».
“Bahwasanya beliau melewati suatu kaum, lalu mereka mendatangi beliau seraya berkata: “Engkau datang dengan kebaikan dari sini orang itu (yaitu Nabi صلى الله عليه وسلم ), maka ruqyahlah untuk kami orang ini,” lalu mereka mendatangkan orang yang gila yang terbelenggu. Maka beliau meruqyah orang itu dengan Ummul Qur’an selama tiga hari pagi dan sore. Setiap kali beliau menyelesaikan bacaan, beliau mengumpulkan air ludah beliau lalu meludahkannya sedikit ke orang tadi. Maka seakan akan orang gila tadi terbebas dari ikatan. Maka mereka memberi beliau suatu pemberian. Maka beliau mendatangi Nabi صلى الله عليه وسلم , seraya menceritakan hal itu. Maka beliau bersabdalah: “Makanlah pemberian itu. Demi umurku, ada orang memakan dengan ruqyah yang batil, dan sungguh engkau memakan dengan ruqyah yang benar.” (HR. Abu Dawud (3420)/shohih)).
Mulla Ali Al Qoriy رحمه الله berkata: “Dalam sabda beliau: “ada orang memakan dengan ruqyah yang batil” itu sebagai jawaban sumpah. Yaitu: “Di antara manusia ada orang memakan dengan ruqyah yang batil, seperti menyebut bintang-bintang dan minta tolong pada jin. “dan sungguh engkau memakan dengan ruqyah yang benar” yaitu: dengan menyebut nama Alloh ta’ala dan firman-Nya. Dan hanyalah beliau bersumpah dengan umur beliau karena Alloh ta’ala bersumpah dengan itu sebagaimana dalam firman-Nya:
﴿لعمرك إنهم في سكرتهم يعمهون﴾.
“Demi umurmu (wahai Rosululloh), sungguh mereka itu terombang-ambing berada di dalam kemabukan yang sangat.”
Al Muzhhir berkata: “(لعمري) itu dengan huruf ‘ain yang difathah, dan boleh juga didhommah. Yaitu: “Demi kehidupanku.” Dan tidak dipakai dalam sumpah kecuali dengan ‘ain yang difathah. Dan huruf lam dalam (لمن أكل) adalah sebagai jawaban sumpah. Yaitu: Di antara manusia ada orang memakan dengan ruqyah yang batil, dan mengambil upah darinya. Adapun engkau maka sungguh engkau telah meruqyah dengan ruqyah yang benar.”
(selesai dari “mirqotul Mafatih Syarh Misykatil Mashobih”/9/hal. 442).
Ath Thibiy رحمه الله berkata: “Yaitu: Demi umurku, jika ada orang-orang yang memakan dengan ruqyah yang batil, maka sungguh engkau memakan dengan ruqyah yang benar. Dan hanya saja Nabi mendatangkan fi’il madhi dalam sabda beliau (أكلت) setelah sabda beliau (كل), sebagai petunjuk bahwasanya Shohabiy ini memang berhak memakannya, karena itu adalah hak yang tetap untuknya, dan upahnya adalah benar.” (sebagaimana dalam “mirqotul Mafatih”/Al Qoriy/9/hal. 442).
Ini menunjukkan tentang bolehnya memakan upah ruqyah yang disyariatkan.
Ibnu Hazm رحمه الله berkata: “Maka sudah sahlah bahwasanya memakan dengan hasil dari Al Qur’an adalah termasuk dalam kebenaran. Dan dalam pengajarannya adalah kebenaran juga. Dan bahwasanya yang harom hanyalah jika dia memakan dengan hasil Al Qur’an tadi dalam rangka riya, atau karena selain Alloh ta’ala.” (“Al Muhalla”/8/hal. 815).
Syaikhul Islam رحمه الله dalam bantahan beliau pada orang yang membolehkan mengambil upah dari sekedar bacaan Al Qur’an berkata: “Iya, telah pasti bahwasanya Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
إن أحقّ ما أخذتم عليه أجرا كتاب الله».
“Sesungguhnya yang paling berhak untuk kalian ambil upah darinya adalah Kitabulloh.” (HR. Al Bukhoriy (5737)).
Akan tetapi beliau mengucapkan ini dalam hadits ruqyah, karena dulu orang-orang menjadikan untuk para Shohabat tadi upah karena mereka membacakan ruqyah pada saudara mereka yang sakit, sehingga dia sembuh. Maka upah tadi adalah karena kesembuhannya, bukan karena sekedar bacaan. Maka beliau bersabda:
عمري لمن أكل برقية باطل لقد أكلتم برقية حق».
“Demi umurku, ada orang memakan dengan ruqyah yang batil, dan sungguh kalian memakan dengan ruqyah yang benar.”
«إن أحقّ ما أخذتم عليه أجرا كتاب الله».
“Sesungguhnya yang paling berhak untuk kalian ambil upah darinya adalah Kitabulloh.” (HR. Al Bukhoriy (5737)).
Dengan upah ruqyah ini para ulama menafsirkan hadits, bukan dengan mengambil upah karena semata-mata bacaan, karena semata-mata bacaan itu tidak boleh mengambil upah, dengan ijma’. Adapun tentang upah pengajar, maka ada perselisihan.” (“Ahaditsul Qishosh”/Ibnu Taimiyyah/hal. 114-115).
Bab Dua: Hukum Mengambil Upah Dari Pengajaran Agama
Adapun masalah meminta upah karena mengajarkan Al Qur’an dan ilmu-ilmu agama yang lainnya, maka Rosululloh صلى الله عليه وسلم telah membolehkannya (dengan celaan, kecuali jika kondisinya memang butuh uang, sebagaimana akan datang penyebutan dalil-dalil tentang itu insya Alloh).
Akan tetapi yang Alloh pilihkan untuk para Nabi-Nya عليهم الصلاة والسلام itu adalah kondisi yang lebih sempurna, pahala yang lebih banyak, dan barokah yang lebih besar dalam dakwah, yaitu tidak meminta upah atas dakwah Islamiyyah ini. Dan pada mereka ada teladan yang baik bagi orang yang mengharapkan perjumpaan dengan Alloh dan Hari Akhir dan banyak mengingat Alloh.
Dalil tentang dibolehkannya minta upah tadi adalah hadits-hadits tentang upah ruqyah yang telah berlalu penyebutannya.
Al Imam Ibnu Qudamah رحمه الله setelah menyebutkan hadits-hadits tersebut, beliau berkata: “Dan jika mengambil pemberian tadi adalah boleh, maka boleh juga mengambil upah, karena upah itu masuk dalam makna pemberian. Dan juga karena boleh seseorang itu mengambil rizqi dari baitul mal karena pengajaran, maka boleh pula mengambil upah karenanya, sebagaimana membangun masjid-masjid dan jembatan-jembatan. Dan juga karena kebutuhan itu menuntut untuk mengambil upah, karena dibutuhkan adanya perwakilan dalam menghajikan orang yang wajib untuk berhaji tapi tidak sanggup melakukannya, dan hampir-hampir tidak didapatkan orang yang mau sukarela melakukan itu tanpa upah, sehingga diperlukan mencurahkan upah untuk itu.” (“Al Mughni”/6/hal. 143).
Dalil yang lain: Dari Sahl bin Sa’d رضي الله عنهما yang berkata:
أتت النبي صلى الله عليه وسلم امرأة فقالت: يا رسول الله أهب لك نفسي. فنظر إليها رسول صلى الله عليه و سلم فصعد النظر فيها وصوبه ثم طأطأ رسول الله صلى الله عليه و سلم رأسه. فلما رأت المرأة أنه لم يقض فيها شيئاً جلست. فقام رجل من أصحابه فقال: يا رسول الله إن لم يكن لك بها حاجة فزوجنيها. فقال: «فهل عندك من شيء ؟». فقال: لا والله يا رسول الله. فقال: «اذهب إلى أهلك فانظر هل تجد شيئا ؟». فذهب ثم رجع فقال: لا والله ما وجدت شيئاً. فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم: «انظر ولو خاتم من حديد». فذهب ثم رجع فقال: لا والله يا رسول الله ولا خاتم من حديد. ولكن هذا إزاري ( قال سهل ما له رداء ) فلها نصفه. فقال رسول الله: «ما تصنع بإزارك إن لبسته لم يكن عليها منه شيء وإن لبسته لم يكن عليك منه شيء». فجلس الرجل حتى إذا طال مجلسه قام. فرآه رسول الله صلى الله عليه و سلم مولياً، فأمر به فدعي. فلما جاء قال: «ماذا معك من القرآن ؟» قال: معي سورة كذا وكذا ( عددها ). فقال: «تقرؤهن عن ظهر قلبك ؟». قال: نعم. قال: «اذهب فقد ملكتها بما معك من القرآن».
“Ada seorang wanita mendatangi Nabi صلى الله عليه وسلم seraya berkata: “Wahai Rosululloh, saya memberikan diri saya untuk Anda.” Maka Rosululloh صلى الله عليه وسلم melihat kepadanya, memandang ke atas dan ke bawahnya, kemudian Rosululloh صلى الله عليه وسلم menundukkan pandangan beliau. Manakala wanita itu melihat bahwasanya beliau tidak memberikan suatu keputusan, duduklah dia. Maka berdirilah seseorang dari Shohabat beliau seraya berkata: “Wahai Rosululloh, jika Anda tidak punya hajat kepadanya, nikahkanlah saya dengannya.” Maka beliau bertanya: “Apakah engkau punya sesuatu?” Dia menjawab: “Demi Alloh, tidak wahai Rosululloh.” Maka beliau bersabda: “Pergilah ke keluargamu dan lihatlah apakah engkau mendapati sesuatu.” Maka pergilah dia lalu dia datang lagi seraya berkata.” Demi Alloh saya tidak mendapatkan sesuatu.” Maka Rosululloh bersabda: “Lihatlah, sekalipun cincin dari besi.” Maka pergilah dia lalu dia datang lagi seraya berkata.” Demi Alloh wahai Rosululloh, saya tidak mendapatkan walaupun cincin besi. Tapi ini sarung saya.” Sahl berkata: “Dia tidak punya selendang.” Dia berkata: “Wanita ini akan saya beri setengah dari sarung ini.” Maka Rosululloh bersabda: “Apa yang akan engkau perbuat dengan sarungmu? Jika engkau memakainya, wanita ini tak bisa memakainya sedikitpun. Jika dia memakainya, engkau tak bisa memakainya sedikitpun.” Maka pria tadi duduk. Sampai ketika majelisnya telah berlangsung lama, diapun bangkit. Maka Rosululloh صلى الله عليه وسلم melihatnya pergi, lalu beliau memerintahkan agar dia dipanggil kembali. Ketika dia datang, beliau bertanya: “Apa yang engkau miliki dari Al Qur’an?”Dia menjawab: “Saya punya surat ini dan itu.” Dia menghitungnya. Beliau bertanya: “Engkau bisa membacanya secara hapalan?”Dia menjawab: “Iya.” Beliau bersabda: “Pergilah, sungguh aku telah menikahkanmu dengannya, dengan Al Qur’an yang engkau hapal.” (HR. Al Bukhoriy (5029) dan Muslim (1425)).
Dan dalam satu riwayat: “Berangkatlah, sungguh aku telah menikahkanmu dengannya, maka ajarilah dia Al Qur’an.” (HR. Muslim (1425)).
Al Imam Ibnu Abdil Barr رحمه الله berkata: “Dan dalam hadits ini ada dalil bolehnya mengambil upah karena mengajarkan Al Qur’an, dan mengambil ganti (upah juga) karena telah menunaikan pengajaran tadi, dan yang semisal itu, karena jika pengajaran Al Qur’an boleh menjadi mahar, boleh juga untuk mengambil ganti dari setiap perkara yang bisa diambil manfaatnya. Dan ini adalah madzhab Malik, Asy Syafi’iy, Abu Tsaur, Ahmad dan Dawud.
Dan di antara hujjah mereka adalah hadits Abu Sa’id Al Khudriy –lalu beliau menyebutkan hadits ruqyah, sampai pada ucapan beliau:- Abu Hanifah dan pengikutnya berkata: “Tidak boleh mengambil upah atas pengajaran Al Qur’an. Setiap orang yang ditanya tentang Al Qur’an sedikit saja, dia harus membacakannya dan mengajarkannya bagi orang yang memintanya. Kecuali jika dia terkena dhoruroh dan tersibukkan dari mata pencahariannya.” Dan mereka beralasan dengan hadits-hadits marfu’ yang semuanya itu lemah.”
(selesai dari “Al Istidzkar”/5/hal. 416-417).
Al Imam Ibnu Qudamah رحمه اللهketika menyebutkan perselisihan tentang upah mengajar, beliau berkata: “Dan Abu Tholib menukilkan dari Ahmad bahwasanya beliau berkata: “Mengajar itu lebih aku sukai daripada dia bersandar pada para penguasa itu, dan daripada dia bersandar pada seseorang dari keumuman manusia dalam suatu mata pencaharian, dan daripada dia berutang dan berdagang, karena bisa jadi dia tak sanggup menunaikannya sehingga dia berjumpa dengan Alloh ta’ala dengan memikul amanah-amanah manusia. Mengajar itu lebih aku sukai.” Dan ini menunjukkan bahwasanya larangan Al Imam Ahmad (dalam riwayat yang lain) adalah untuk kemakruhan, bukan untuk pengharoman.
Dan termasuk yang membolehkan itu adalah Malik dan Asy Syafi’iy. Abu Qilabah, Abu Tsaur dan Ibnul Mundzir juga memberikan keringanan dalam upah para pengajar karena Rosululloh صلى الله عليه وسلم menikahkan seseorang dengan Al Qur’an yang dia hapal. Riwayat Al Bukhoriy dan Muslim. Jika boleh pengajaran Al Qur’an sebagai ganti (upah) dalam bab pernikahan dan menduduki posisi mahar, boleh juga mengambil upah karena pengajarkan All Qur’an dalam bab persewaan.”
(selesai dari “Al Mughni”/6/hal. 143).
Ahmad bin Umar Al Qurthubiy رحمه الله berkata: “Dan hadits ini merupakan bantahan terhadap Abu Hanifah yang melarang mengambil upah dari pengajaran Al Qur’an. Dan yang membantah dia juga sabda Nabi صلى الله عليه وسلم:
«إن أحقّ ما أخذتم عليه أجرا كتاب الله».
“Sesungguhnya yang paling berhak untuk kalian ambil upah darinya adalah Kitabulloh.” (HR. Al Bukhoriy (5737)).
(selesai dari “Al Mufhim”/4/hal. 13).
Al Imam An Nawawiy رحمه الله berkata: “Dan di dalam hadits ini ada dalil untuk bolehnya pengajaran Al Qur’an itu sebagai mahar, dan bolehnya menyewa orang untuk mengajarkan Al Qur’an, dan dua perkara ini boleh menurut Asy Syafi’iy. Dan ini juga pendapat Atho, Al Hasan bin Sholih, Malik, Ishaq, dan yang lainnya. Sekelompok ulama melarangnya, di antaranya adalah Az Zuhriy dan Abu Hanifah. Hadits ini dan hadits shohih: “Sesungguhnya yang paling berhak untuk kalian ambil upah darinya adalah Kitabulloh” membantah pendapat ulama yang melarang itu. Al Qodhi ‘Iyadh menukilkan dari seluruh ulama –selain Abu Hanifah- tentang bolehnya menyewa orang untuk mengajarkan Al Qur’an.” (“Syarh Shohih Muslim”/9/hal. 214-215).
Az Zarqoniy رحمه الله berkata: “Dan di dalam hadits ini ada pembolehan mengambil upah dari pengajaran Al Qur’an. Dan ini adalah pendapat mayoritas ulama dan Imam yang tiga (Malik, Asy syafi’iy dan Ahmad).” (“Syarh Muwaththo Malik”/Az Zarqoniy/5/hal. 468).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah رحمه الله ditanya: “Ada seorang alim dari ulama diminta untuk membacakan hadits-hadits Rosululloh صلى الله عليه وسلم dan ilmu-ilmu syariat yang lainnya. Maka dia tidak mau membacakannya kecuali dengan upah. Maka dikatakan padanya: “Telah diriwayatkan dari jalan Salaf dan para imam huda pengajaran ilmu dalam rangka mencari wajah Alloh Yang mulia yang kisah-kisah itu tidak tersembunyi dari orang yang berakal. Dan minta upah itu tidak pantas. Maka dia menjawab: “Aku membacakan ilmu tanpa upah? Harom bagiku membacakan ilmu tanpa upah.” Maka apakah ucapannya itu benar ataukah batil? Dan apakah dia itu bodoh dengan ucapannya bahwasanya dirinya punya udzur? Dan apakah boleh baginya untuk mengambil upah karena mengajarkan ilmu yang bermanfaat? Ataukah dimakruhkan?”
Maka Syaikhul Islam رحمه الله menjawab: “Segala pujian bagi Alloh. Adapun mengajarkan Al Qur’an dan ilmu tanpa upah, maka itu adalah amalan yang paling utama dan paling dicintai oleh Alloh. Dan ini termasuk perkara yang diketahui secara pasti dalam agama Islam. Bukanlah ini termasuk dari perkara yang tersembunyi dari orang yang tumbuh di negri-negri Islam. Para Shohabat, Tabi’un, dan Tabi’ut Tabi’un dan ulama yang lainyang terkenal di kalangan umat ini dengan Al Qur’an, Hadits dan Fiqih, mereka itu dulu mengajar tanpa upah. Tidak ada di kalangan mereka pada asalnya yang mengajar dengan upah.
«فإن العلماء ورثة الأنبياء، وإن الأنبياء لم يورثوا دينارا ولا درهما، وإنما ورثوا العلم، فمن أخذه فقد أخذ بحظ وافر».
“Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para Nabi. Sesungguhnya para Nabi itu tidak mewariskan dirham ataupun dinar, akan tetapi mereka itu hanyalah mewariskan ilmu. Maka barangsiapa mengambilnya, dia telah mengambil bagian yang banyak.”[HR. Abu Dawud (3641) dan At Tirmidziy (2682), hasan lighoirih].
Dan para Nabi صلوات الله عليهم dulu hanyalah mengajarkan ilmu tanpa upah, sebagaimana ucapan Nuh عليه السلام:
﴿وما أسألكم عليه من أجر إن أجري إلا على رب العالمين﴾ [ الشعراء : 109 ] ،
“Dan tidaklah aku minta pada kalian upah sedikitpun dari dakwahku. Tidaklah upahku kecuali dalam tanggungan Robbil alamin.”
Demikian pula Hud, Sholih, Syu’aib, Luth dan yang lainnya. Demikian pula Penutup para Rosul:
﴿قل ما أسألكم عليه من أجر وما أنا من المتكلفين﴾ [ ص : 86 ] ،
“Katakanlah: tidaklah aku minta pada kalian upah sedikitpun dari dakwahku. Dan bukanlah aku termasuk orang yang memberat-beratkan diri.”
Dan berfirman berkata:
﴿قل ما أسألكم عليه من أجر إلا من شاء أن يتخذ إلى ربه سبيلا﴾ [ الفرقان : 57 ] .
“Katakanlah: tidaklah aku minta pada kalian upah sedikitpun dari dakwahku. Akan tetapi orang yang ingin mengambil jalan kepada Robbnya (dengan berinfaq di jalan Alloh, silakan berinfaq).”
Dan pengajaran Al Qur’an, Hadits dan Fiqh dan yang lainnya tanpa upah itu, para ulama tidak berselisih pendapat bahwasanya itu adalah amal sholih, lebih-lebih untuk menjadi mubah. Bahkan itu adalah fardhu kifayah, karena pengajaran ilmu yang dia jelaskan adalah fardhu kifayah, sebagaimana sabda Nabi صلى الله عليه وسلم dalam hadits shohih:
«بلغوا عني ولو آية»
“Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat.” [HR. Al Bukhoriy (3461) dari Abdulloh bin Amr ibnul ‘Ash رضي الله عنهما].
Dan bersabda:
«ليبلغ الشاهد الغائب».
“Hendaknya yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir.” [HR. Al Bukhoriy (67) dan Muslim (1679) dari Abu Bakroh رضي الله عنه].
Hanyalah para ulama berselisih pendapat tentang bolehnya menyewa orang dalam mengajarkan Al Qur’an, Hadits dan Fiqh,ada dua pendapat yang terkenal, dan dua-duanya adalah riwayat dari Ahmad.
Yang pertama –dan itu adalah madzhab Abu Hanifah dan lainnya-: tidak boleh menyewa untuk pengajaran itu tadi.
Yang kedua –dan itu adalah ucapan Asy Syafi’iy-: boleh menyewa untuk pengajaran itu tadi.
Dan ada pendapat ketiga dalam madzhab Ahmad: boleh menyewa untuk pengajaran itu tadi karena pengajarnya punya hajat, bukan orang yang kecukupan, sebagaimana firman Alloh ta’ala tentang wali anak yatim:
﴿ومن كان غنيا فليستعفف ومن كان فقيرا فليأكل بالمعروف﴾ [ النساء : 6 ] .
“Dan barangsiapa berkecukupan, maka hendaknya dia menjaga kehormatan (tidak memakan harta yatim), dan barangsiapa faqir maka hendaknya dia memakan dengan cara yang ma’ruf.”
Boleh para pengajar diberi dari harta muslimin karena mereka mengajar, sebagaimana para imam, muadzdzin dan hakim diberi upah. Hal itu boleh jika mereka punya hajat (bukan orang yang berkecukupan).
Apakah boleh pengajar yang berkecukupan itu mencari rizqi lewat pengajaran? Para ulama punya dua pendapat. Dan tidak ada seorangpun dari Muslimin yang berkata bahwasanya mengamalkan pengajaran tanpa upah itu tidak boleh.
Orang yang berkata bahwa mengajar tanpa upah itu tidak boleh, maka dia harus dituntut untuk bertobat, jika dia bertobat maka dia dibebaskan, dan jika tidak mau bertobat maka dia harus dibunuh. Tapi jika dia bermaksud dengan ucapannya tadi adalah karena dia itu faqir, dan jika dia mengajar tanpa upah itu maka dia tidak sanggup mencari nafkah untuk keluarganya, sementara mencari nafkah untuk keluarganya adalah fardhu ‘ain untuknya, maka dia tidak boleh meninggal fardhu ‘ain demi menjalankan perkara yang tidak fardhu ‘ain, dan dia bersamaan dengan itu dia meyakini bahwasanya mengajar dengan upah karena berhajat -atau mutlak tanpa hajat- itu boleh, maka orang ini berkata dengan penakwilan, maka dia tidak kafir dengan pendapatnya tadi, dan tidak menjadi fasiq dengan kesepakatan para ulama, bahkan bisa jadi dia itu benar atau keliru.
Dan sisi pendalilan para ulama tentang tidak bolehnya menyewa untuk manfaat amalan yang ini adalah: karena amalan-amalan ini merupakan amalan khusus, yang mana pelakunya adalah orang yang sedang mendekatkan diri kepada Alloh dengan mengajarkan Al Qur’an, Hadits dan Fiqih, menjadi imam sholat dan adzan. Tidak boleh amalan-amalan tadi dikerjakan oleh orang kafir. Tidak ada yang boleh mengerjakannya kecuali seorang Muslim. Berbeda dengan manfaat yang bisa dilakukan oleh muslim ataupun kafir, seperti membangun, menjahit, menenun, dan sebagainya. Jika dia melakukan suatu amalan dengan upah, tidak tersisa ibadah untuk Alloh, karena tinggallah dirinya itu berhak untuk mendapatkan upah, dipekerjakan dalam rangka upah. Dan amalan itu jika dilakukan karena upah, tidak tersisa padanya makna ibadah, seperti produksi-produksi yang dikerjakan dengan upah.
Maka ulama yang berpendapat tidak bolehnya menyewa dalam amalan-amalan ini, dia berkata: Tidak boleh melakukannya dalam bentuk yang bukan ibadah untuk Alloh, sebagaimana tidak boleh menjalankan sholat, puasa dan bacaan Qur’an dalam bentuk yang bukan ibadah untuk Alloh. Dan persewaan itu mengeluarkan amalan tadi dari bentuk ibadah untuk Alloh.
Ulama yang membolehkan persewaan dalam pengajaran berkata: pengajaran tadi merupakan suatu manfaat yang sampai kepada si penyewa, maka boleh si pengajarnya mengambil upah atas amalannya itu, seperti seluruh manfaat-manfaat yang lain. Jika ibadah tadi dalam kondisi seperti itu, dia tidak berjalan dalam bentuk ibadah, maka boleh melakukannya dalam bentuk ibadah dan sekaligus bukan dalam bentuk ibadah, karena di dalamnya ada manfaat (yang sampai kepada orang yang menyewa dia).
Dan ulama yang membedakan antara orang yang berhajat dengan orang yang tidak berhajat, dan inilah pendapat yang paling dekat (dengan kebenaran), beliau berkata: “Orang yang berhajat, jika dia mencari penghasilan dengan amalan-amalan tadi, bisa saja dia meniatkan amalannya untuk Alloh, dan dia mengambil upah untuk membantu ibadah dia, karena mencari nafkah untuk keluarga adalah wajib juga. Maka dia bisa menunaikan kewajiban-kewajiban dengan cara tadi. Ini berbeda dengan orang yang berkecukupan, karena dia tidak membutuhkan nafkah (dengan cara tadi), maka tiada hajat yang mengharuskan dia untuk melakukan amalan-amalan tadi untuk selain Alloh.” Dan seterusnya.
(selesai dari “Majmu’ul Fatawa”/30/hal. 204-207).
Al Imam Ibnu Baz رحمه الله ditanya: “Apa hukum mengambil upah dari mendidik murid untuk menghapal Al Qur’anul Karim, karena di tempat kami ada imam di desa kami yang mengambil upah dari mendidik anak-anak untuk menghapal Al Qur’an?”
Maka beliau رحمه الله menjawab: “Tidak mengapa mengambil upah untuk pengajaran Al Qur’an dan pengajaran ilmu, karena orang-orang membutuhkan pengajaran, dan karena si pengajar terkadang susah baginya mengajar sambil meninggalkan mata pencaharian demi mengajar. Maka jika dia mengambil upah untuk pengajaran Al Qur’an, penghapalan Al Qur’an dan pengajaran ilmu, maka yang benar adalah tidak mengapa baginya hal itu.
-lalu beliau menyebutkan hadits Abu Sa’id tentang ruqyah, lalu beliau berkata- dan Nabi tidak mengingkari mereka berbuat itu. Dan beliau صلى الله عليه وسلم bersabda:
«إن أحقّ ما أخذتم عليه أجرا كتاب الله».
“Sesungguhnya yang paling berhak untuk kalian ambil upah darinya adalah Kitabulloh.” (HR. Al Bukhoriy (5737)).
Maka ini menunjukkan bahwasanya tidak mengapa mengambil upah dari pengajaran, sebagaimana tidak mengapa mengambil upah dari ruqyah.”
(selesai dari “Majmu’ Fatawa Ibnu Baz”/5/hal. 364-365).
Al Imam Ibnu ‘Utsaimin رحمه الله berkata tentang menyewa orang untuk mengajarkan Al Qur’an: “Dan pendapat yang kuat adalah bahwasanya itu tidak harom, dan bahwasanya boleh menyewa orang untuk mengajarkan Al Qur’an. Dan hal itu ditunjukkan oleh dalil berikut ini:
Yang pertama: sabda Nabi صلى الله عليه وسلم : “Sesungguhnya yang paling berhak untuk kalian ambil upah darinya adalah Kitabulloh.” (HR. Al Bukhoriy (5737)). Dan ini jelas sekali.
Yang kedua: Bahwasanya Rosul Nabi صلى الله عليه وسلم membolehkan mengambil pemberian karena ruqyah, dalam hadits kisah orang yang tersengat binatang.
Yang ketiga: Bahwasanya Rosul صلى الله عليه وسلم menikahkan seorang wanita dengan orang yang tidak punya mahar, dengan Al Qur’an yang dihapalkannya, untuk dia mengajari wanita tadi. Maka Nabi menjadikan pernikahan tadi sebagai upah pengajaran.
Jika ada orang bertanya: “Bagaimana kalian membolehkan itu padahal itu adalah ibadah?”
Kita katakan: iya, kami memperbolehkannya dalam keadaan dia adalah suatu pendekatan diri kepada Alloh, karena kami membolehkan amalan tadi disebabkan oleh manfaat yang bisa diambil oleh orang yang menyewa. Oleh karena itulah andaikata kami menyewa orang untuk dia membaca (bukan membacakan) Al Qur’an semata, niscaya penyewaan tadi adalah harom, tidak sah. Adapun pengajaran, tidak demikian, karena si pengajar capek dan mendikte orang yang bodoh sampai si bodoh tadi mengetahui dan akan mengulangi lagi apa yang dihapalkannya dari Al Qur’an dengan pemeriksaan. Dan di sini ada amalan mubah untuk orang lain (ada pihak yang mendapatkan manfaatnya). Jika demikian, pendapat yang kuat adalah: boleh adanya upah karena pengajaran Al Qur’an. Dan kami telah menyebutkan tiga dalil, di antaranya adalah dalil lafzhiy (tekstual), dan dua dalil amaliy (berupa pengamalan).”
(selesai dari “Asy Syarhul Mumti’”./10/hal. 9-10).
Tidak diragukan bahwasanya perbuatan tadi sekalipun boleh dilakukan, tapi jika dia itu tanpa udzur, sedikit banyak akan mengurangi kehormatan pelakunya, sebagaimana ucapan sebagian imam رحمهم الله.
Al Imam Abu Amr Ibnush Sholah رحمه الله berkata: “Barangsiapa mengambil upah dari pembacaan hadits, sebagian imam hadits melarang untuk menerima riwayatnya. Kami riwayatkan dari Ishaq bin Ibrohim bahwasanya beliau ditanya tentang ahli hadits yang menyampaikan hadits dengan upah. Maka beliau menjawab: “Janganlah engkau tulis hadits darinya.” Dan diriwayatkan seperti itu juga dari Ahmad bin Hanbal dan Abu Hatim Ar Roziy.
Abu Nu’aim dan Ali bin Abdil Aziz Al Makkiy dan yang lainnya mencari keringanan dalam mengambil upah dari penyampaian hadits. Dan yang demikian itu mirip dengan mengambil upah dari pengajaran Al Qur’an dan yang semacam itu.
Hanya saja perbuatan ini secara adat kebiasaan akan merusak kehormatan pelakunya, dan membikin dia disangka buruk. Kecuali jika dia diiringi dengan udzur yang meniadaan praduga buruk tadi darinya, seperti berita yang diceritakan padaku oleh Asy Syaikh Abul Muzhoffar, dari ayahnya Al Hafizh Abu Sa’d As Sam’aniy: bahwasanya Abul Fadhl Muhammad bin Nashir As Salamiy menyebutkan: bahwasanya Abul Husain Ibnun Naqur berbuat itu, karena Asy Syaikh Abu Ishaq Asy Syairoziy berfatwa kepadanya akan bolehnya mengambil upah dari penyampaian hadits, karena para hali hadits selalu menghalangi dirinya dari bekerja untuk keluarganya. Wallohu a’lam.”
(“Muqoddimah Ibnush Sholah”/hal. 61).
Dan dikarenakan hal itu mengurangi kehormatan dan memberatkan hati manusia yang tercipta untukmenyayangi harta mereka, -sekalipun minta upah dari pengajaran tadi adalah boleh- maka Alloh ta’ala mensucikan para Nabi-Nya عليهم الصلاة والسلام dari perbuatan itu sebagaimana telah lewat dalil-dalil tentang itu.
Alloh ta’ala berfirman:
﴿قُلْ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِلَّا الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبَى﴾ [الشورى: 23].
“Katakanlah: tidaklah aku minta pada kalian upah dari dakwahku. Aku hanya minta kasih sayang dalam kekerabatan.”
Al Imam Muhammad bin Ali Al Qoshshob رحمه الله berkata: “Dan firman Alloh ta’ala: “Katakanlah: tidaklah aku minta pada kalian upah dari dakwahku. Aku hanya minta kasih sayang dalam kekerabatan” merupakan dalil bahwasanya di dalam karakter manusia itu ada ketidaksukaan pada petuah yang datang dari orang yang mengambil dinar dan dirham, dan bahwasanya menjaga kehormatan dari dinar dan dirham itu terpuji di mata orang-orang di zaman jahiliyyah, bagi orang yang zuhud terhadap dinar dan dirham, dan orang yang bersegera mengambil dinar dan dirham itu martabatnya rendah. Maka Alloh memerintahkan Rosul-Nya صلى الله عليه وسلم untuk mengumumkan pensucian diri kepada para makhluk yang diberi peringatan, mensucikan diri dari mengambil upah harta atas dakwah beliau, yang mendakwahkan Kitabulloh dan agama-Nya yang Dia syariatkan kepada para hamba-Nya, agar dakwah beliau itu murni kepada Alloh جل وتعالى , bersih tidak tercampurkan dengan kecondongan pada dunia, karena dunia itu akan merendahkan pencarinya dan orang-orang yang condong kepadanya, merendahkan mereka dari martabah-martabat kemuliaan dan derajat-derajat hamba yang didekatkan. Dan dengan itu Alloh mengabarkan kisah para Rosul yang telah berlalu sebelum beliau di dalam surat Asy Syu’aro dan lainnya dengan firman-Nyaعليه السلام:
﴿وما أسألكم عليه من أجر إن أجري إلا على رب العالمين﴾ [ الشعراء : 109 ] ،
“Dan tidaklah aku minta pada kalian upah sedikitpun dari dakwahku. Tidaklah upahku kecuali dalam tanggungan Robbil alamin.”
Dan seterusnya.
(“Nukatul Qur’an”/4/hal. 98-99/cet. Dar Ibnil Qoyyim).
Wahai saudara-saudaraku, inilah jalan para Nabi jika kita ingin mendapatkan keutamaan yang lebih tinggi.
Al Imam Asy Syinqithiy رحمه الله berkata: “Firman Alloh ta’ala:
﴿ويا قوم لا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مَالاً إِنْ أَجْرِيَ إِلاَّ عَلَى الله﴾ الآية .
“Dan wahai kaumku, tidaklah aku minta pada kalian upah sedikitpun dari dakwahku. Tidaklah upahku kecuali menjadi tanggungan Alloh.” Hingga akhir ayat. (QS. Hud: 29).
Alloh ta’ala dalam ayat yang mulia ini menyebutkan dari Nabi-Nya Nuh –semoga sholawat dan salam tercurah pada beliau dan pada Nabi kita-, bahwasanya beliau mengabarkan pada kaum beliau bahwasanya beliau tidak minta pada mereka harta sebagai bayaran dari wahyu dan petunjuk yang beliau datangkan, bahkan beliau itu mencurahkan kebaikan yang agung tadi secara gratis kepada mereka, tanpa mengambil upah sebagai bayaran amalan tadi.
Dan Alloh dalam ayat yang banyak telah menjelaskan bahwasanya yang demikian itu adalah sifat para Rosul عليهم صلوات الله وسلامه, -kemudian Asy Syinqithiy menyebutkan ayat-ayat yang banyak tentang hal itu, lalu beliau berkata:-, dan aku telah menyebutkan sisi penggabungan antara ayat-ayat yang tersebut ini dengan firman Alloh ta’ala:
﴿قُلْ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِلَّا الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبَى﴾ [الشورى: 23].
“Katakanlah: tidaklah aku minta pada kalian upah dari dakwahku. Aku hanya minta kasih sayang dalam kekerabatan.”
Dalam kitab kami “Daf’u Ihamil Idhthirob ‘An Ayatil Kitab” dalam surat Saba, ketika membahas firman Alloh ta’ala:
﴿قُلْ مَا سَأَلْتُكُم مِّن أَجْرٍ فَهُوَ لَكُمْ﴾ [ سبأ : 47 ]
“Katakanlah: upah yang aku minta dari kalian, maka itu adalah untuk kalian sendiri.”
Dan diambil dari ayat-ayat yang mulia ini: bahwasanya yang wajib dilakukan para pengikut para Rosul, dari kalangan ulama dan yang lainnya adalah: hendaknya mereka itu mencurahkan ilmu yang mereka miliki secara gratis tanpa mengambil ganti dari amalan tadi, dan bahwasanya tidak pantas mengambil upah atas pengajaran Kitabulloh ta’ala, ataupun juga pengajaran aqidah-aqidah dan perkara halal dan harom.
Dan penjelasan ini didukung oleh hadits-hadits yang menunjukkan makna tadi. Di antaranya adalah hadits riwayat Ibnu Majah, Al Baihaqiy dan Ar Ruyaniy dalam Musnadnya dari Ubaiy bin Ka’b رضي الله عنه yang berkata:
علمت رجلاً القرآن ، فأهدى لي قوساً ، فذكرت ذلك للنبي صلى الله عليه وسلم فقال : «إن أخذت قوساً من نار» فرددتها
“Aku pernah mengajari seseorang Al Qur’an, maka dia memberiku hadiah busur panah. Maka aku menceritakan hal itu kepada Nabi صلى الله عليه وسلم maka beliau bersabda: “Jika engkau mau mengambil busur dari neraka.” Maka aku mengembalikannya.”
Al Baihaqiy dan Ibnu Abdil Barr berkata tentang hadits ini: “Hadits ini munqothi’ (sanadnya terputus).” Yaitu antara ‘Athiyyah Al Kila’iy dan Ubaiy bin Ka’b. Demikian pula dikatakan oleh Al Mizziy. Tapi dibantah oleh Ibnu Hajar bahwasanya ‘Athiyyah dilahirkan pada zaman Nabi صلى الله عليه وسلم.
Dan Ibnul Qoththon menyatakan bahwasanya sanadnya berpenyakit karena ‘Athiyyah tersebut adalah Abdurrohman bin Salm, dan dia itu majhul.
Ibnu Hajar berkata dalam “At Taqrib”: “Orang ini majhul dari Syam.”
Asy Syaukaniy berkata dalam “Nailul ‘Author”: “Hadits ini punya jalur-jalur ke Ubaiyy. Ibnul Qoththon berkata: “Tidak ada hadits yang tetap dalam masalah ini sedikitpun.” Al Hafizh (Ibnu Hajar) berkata: “Ucapan beliau perlu diperiksa lagi.” Al Mizziy dalam “Al Athrof” menyebutkan jalur-jalur untuk hadits tadi, di antaranya adalah: bahwasanya orang yang diajari Al Qur’an oleh Ubaiyy adalah Ath Thufail bin Amr. Dan ini didukung oleh apa yang diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam “Al Ausath” dari Amr bin Thufail Ad Dausiy yang berkata: “Ubaiyy bin Ka’b membacakan Al Qur’an kepadaku, maka aku memberinya hadiah busur panah. Maka beliau berangkat menemui Nabi صلى الله عليه وسلمsambil mengalungkannya ke lehernya. Maka Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda: “Engkau mengalungkan busur dari Jahannam.” Al hadits.
(“Adhwaul Bayan”/Asy Syinqithiy/366-367/cet. Darul Kutubil ‘Ilmiyyah)
Saya katakan –dengan taufiq Alloh semata-: Hadits Ubayy diriwayatkan oleh Ibnu Majah (2158) dan Al Baihaqiy “Al Kubro” (126). Dan dihukumi berpenyakit oleh para Huffazh, sebagaimana telah disebutkan.
Athiyyah bin Qois majhul. Abdurrohman bin Salm majhul ‘ain.
Al Hafizh Adz Dzahabiy رحمه الله dalam biografi Abdurrohman bin Salm berkata: “Sanadnya goncang, tentang orang yang memberi Ubayy hadiah busur panah. Dan tiada yang meriwayatkan darinya –Abdurrohman bin Salm- kecuali Tsaur bin Yazid.” (“Mizanul I’tidal” (4878)).
Al Hafizh Ibnu Hajar رحمه الله berkata: “Di dalam sanadnya banyak perselisihan.” (“Tahdzibut Tahdzib”/6/hal. 170).
Adapun hadits Ath Thufail bin Amr رضي الله عنه diriwayatkan oleh Ath Thobroniy di “Al Ausath”, dan di dalam sanadnya Abdulloh bin Sulaiman bin Umair, tidak diketahui siapakah dia? Maka dia itu majhul ‘ain, tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali Isma’il bin ‘Ayyasy. Dan tidak diketahui apakah dia mendengar dari Ath Thufail.
Al Hafizh Al Haitsamiy رحمه الله berkata: “Di dalam sanadnya ada Abdulloh bin Sulaiman bin Umair, dan tidak aku dapati biografinya, dan aku tidak mengira dia itu berjumpa dengan Ath Thufail.” (“Majmu’uz Zawaid”/4/hal. 111).
Maka mencari dukungan dengan hadits ini tidaklah kuat. Wallohu a’lam.
Bahkan Al Hafizh Ibnu Abdil Barr رحمه الله berkata: “Dan hadits-hadits ini munkaroh, tidak ada yang shohih darinya sedikitpun menurut ulama hadits.” (“At Tamhid”/21/hal. 114).
Kemudian Al Imam Asy Syinqithiy رحمه الله berkata: “Dan Asy Syaukaniy berkata juga: “Dan di dalam bab ini ada hadits dari Mu’adz diriwayatkan oleh Al hakim dan Al Bazzar seperti hadits Ubaiyy. Dan dari Abud Darda diriwayatkan oleh Ad Darimiy dengan sanad sesuai dengan syarat Muslim seperti hadits Ubaiyy. (“Adhwaul Bayan”/Asy Syinqithiy/367/cet. Darul Kutubil ‘Ilmiyyah).
Saya katakan –dengan taufiq Alloh semata-: Adapun hadits Mu’adz bin Jabal رضي الله عنه maka saya belum menemukannya sampai sekarang.
Adapun hadits Abud Darda رضي الله عنه maka diriwayatkan oleh Abu Nu’aim di “Hilyatul Auliya” (6/hal. 86), dan Al Baihaqiy di “As Sunanul Kubro” (6/hal. 126).
Al Hafizh Duhaim –Abdurrohman bin Ibrohim-: “Hadits Abud Darda رضي الله عنه dari Nabi صلى الله عليه وسلم tentang orang yang mengalungkan busur sebagai upah dari pengajaran Al Qur’an itu tidak punya asal (tidak punya asal yang shohih).” (dinukilkan oleh Al Baihaqiy di “As Sunanul Kubro” (6/hal. 126)).
Bersambung.....
Sumber copas : fb Rudi Abu Azka